Dinsdag 28 Mei 2013

Sejarah Terbentuknya SAR Aceh Selatan


Sejarah Terbentuknya SAR Aceh Selatan
Secara perlahan SAR terus mulai berkembang di Aceh diawali oleh konflik yang berkepanjangan dan bencana gempa stunami, yang memerlukan keikutsertaan internasional dalam menyelesaikan segala bentuk kritis,Salah satunya adalah SAR.

Dengan mengingat sering terjadinya bencana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Selatan yang secara geografis dengan Luas Wilayah: 3.851,69 Km² dengan jumlah Penduduk 183.785 Jiwa sebahagian besar terdiri dari pesisir yakni membentangnya Samudera Hindia dan pegunungan Louser yang rentan dan tingkat kerawanan akan bencana sangat tinggi yang acap kali mengancam, sehingga perlu ada penangganan khusus sesuai kapasitas bidang yang dimiliki oleh Kabupaten Aceh Selatan, salah satunya adalah telah terbentuknya SATGAS SAR Aceh Selatan.

Berikut sejarah dan Profil terbentuknya SATGAS SAR Aceh Selatan.

SAR Aceh Selatan yang terbentuk pada Tanggal 01 januari 2008 sesuai dengan keputusan Bupati Aceh Selatan yang berbasiskan UUD BASARNAS, Berdasarkan kajian dan analisa kelembagaan, sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tugas yang lebih besar, sesuai sering terjadinya musibah, bencana dan kecelakaan   baik laut, darat bahkan udara sehingga memicu untuk dibentuknya SATGAS SAR Aceh Selatan yang telah diprakarsai dibina oleh BASARNAS POS SAR MEULABOH.
Sejarah Berdirinya SAR Unhas
Tugas-tugas kemanusian yang berupa pencarian dan penyelamatan korban musibah kecelakaan ataupun bencana alam, baik di gunung, rimba dan laut adalah suatu tugas yang patut mendapat penanganan secara khusus dan terorganisir.
Propinsi Sulawesi Selatan yang mempunyai daerah perairan yang cukup luas dan pegunungan serta hutan maupun gua yang memiliki keindahan tersendiri. Hal ini mengundang minat anak manusia untuk menikmati hal ini, baik dalam bentuk pendakian gunung, penelurusan gua, penyelaman, penelurusan sungai, penjelajahan dan kegiatan alam lainnya. Kegiatan-kegiatan ini apabila kurang waspada dapat menimbulkan kerugian baik berupa materi bahkan jiwa manusia.
Mengingat pula semakin ramainya lalu lintas perairan dan udara Sulawesi Selatan, sehingga perlu menyiapkan tenaga-tenaga terampil yang dapat dikoordinir dengan cepat untuk melakukan pencarian dan penyelamatan bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan dalam hal pelayaran dan penerbangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka beberapa mahasiswa Universitas Hasanuddin yang gemar melakukan kegiatan di alam bebas yang mempunyai jiwa kemanusiaan yang tinggi yang tergabung dalam kelompok-kelompok studi, UKM-UKM Unhas yang berpotensi SAR bermaksud mengadakan pendidikan dan latihan dasar SAR Mahasiswa. Untuk merealisasikan maksud tersebut, maka diadakanlah perekrutan anggota diklat melalui seleksi dari beberapa organisasi dan mahasiswa se-Unhas.
Dari rencana semula yang ingin mengadakan Pendidikan dan Latihan SAR Mahasiswa, akhirnya berkembang ke arah pembentukan organisasi unit SAR Universitas Hasanuddin. Sehingga pada tanggal 14 Juni 1986 diadakanlah pembukaan Pendidikan dan Latihan SAR Mahasiswa angkatan I, sekaligus peresmian berdirinya organisasi unit SAR Universitas Hasanuddin yang bertempat di Gedung Pertemuan Ilmiah (GPI) Unhas Tamalanrea.
Pada Tanggal 14 Juni 1986, diresmikanlah berdirinya Unit SAR Unhas oleh Kepala Kepolisian Daerah Sulselra yang disaksikan oleh Rektor Universitas Hasanuddin dan para Perwira Tinggi dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepala Kantor Koordinasi Rescue III (sekarang Kantor SAR Makassar) serta Pejabat Pemerintah Tngkat I dan Walikotamadya Ujungpandang pada saat itu.
Sejak awal terbentuknya unit SAR Unhas sampai saat ini, SAR Unhas telah mengalami 13 (tiga belas) kali masa kepengurusan.
Kepengurusan ini diperinci dalam periode-periode sebagai berikut :
1986 - 1988 diketuai oleh Umar Arsal
1988 - 1989 diketuai oleh Bambang Edi Nugroho
1989 - 1990 diketuai oleh A. Taufiq Zaini
1990 - 1992 diketuai oleh Faisal Mahyuddin
1992 - 1993 diketuai oleh Amrizal Alamsyah
1993 - 1994 diketuai oleh Dodi Sanjaya
1994 - 1995 diketuai oleh Abdi Gunawan
1995 - 1996 diketuai oleh Burhanuddin Nur
1996 - 1997 diketuai oleh Muh. Iqbal Hafid
1997 - 1998 diketuai oleh Hendra Lesmana
1998 - 2000 diketuai oleh Laode Syahrizal
2000 - 2001 diketuai oleh Patarai
2001 - 2002 diketuai oleh Pono Sudrajad
2002 - 2003 diketuai oleh Nasruddin
Keberadaan organisasi SAR Unhas selain resmi sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unhas, juga mempunyai hubungan struktural dan dibawah koordinasi Kantor SAR Makassar dan juga merupakan anggota dari Forum Koordinasi SAR Daerah (FKSD) serta anggota Brigade Disaster Propinsi Sulawesi Selatan.***

SEJARAH PERKEMBANGAN SAR (Search And Rescue) NASIONAL

Filed under: MateriLeave a comment
April 25, 2011
Dalam tahun 1955 dengan PP No. 5 Tahun 1955 oleh Presiden telah ditentukan satuan DEWAN PENERBANGAN. Untuk melaksanakan tugasnya dewan tersebut diberi wewenang membentuk panitia teknis diantaranya panitia pencari dan pemberi pertolongan atau panitia SAR dengan tugas:
  1. Pembentukan Badan Gabungan SAR.
  2. Regional Centra.
  3. Anggaran pembiayaan dan materil.
Pada tahun 1989 panitia SAR tersebut dianggap tidak sesuai lagi dengan dengan keadaan atau situasi dan kondisi pada saat itu, sehingga oleh beberapa pejabat dari penerbangan sipil dan militer (ABRI) usaha ini tidak tercapai karena beberapa hal, diantaranya:
  1. Tidak tersedia anggaran dan materil.
  2. Perubahan politik dalam negri.
  3. Perubahan dalam organisasi pemerintah.
Sejak tahun 1950 negara kita sudah menjadi anggota ICAO (International Civil Aviation Organitation) dan pada tahun 1966 dengan Keppres No. 203 tahun 1966 negara kita juga telah terdaftar sebagai anggota ICMO (Intergovernmental Maritime Consultative Organization). Dengan demikian diharapkan negara Indonesia memiliki organisasi SAR Nasional yang mampu menangani berbagai musibah nasional maupun internasional. Akan tetapi nampaknya hal tersebut belum dapat diwujudkan.
Hingga tahun 1968 baik instansi militer maupun sipil sesungguhnya telah memiliki peralatan, sarana dan sistim komunikasi yang dapat digunakan untuk pelaksanaan operasi SAR. Beberapa kegiatan SAR pun telah pula dilakukan, namun kenyataannya banyak kecelakaan-kecelakaan baik penerbangan maupun pelayaran yang telah terjadi di negara kita belum pernah mendapat pertolongan secara cepat dan tepat. Hal itu dikarenakan setiap instansi yang berpotensi SAR dalam melakukan pertolongan masih secara masing-masing dan tidak terkoordinasikan sama sekali, sehingga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Menyadari akan hal tersebut, para pejabat dari beberapa instansi merasa terpanggil kembali untuk bersepakat membentuk organisasi SAR Nasional yang terkoordinir dibawah satu komando. Dalam usaha ke arah realisasi yang dimaksud dan disebabkan karena keadaan yang sudah sangat mendesak, maka dikeluarkan surat keputusan Menteri  Perhubungan No. T.20/I/2-U tentang ditetapkannya Tim SAR lokal Jakarta yang tugas pembentukannya diserahkan kepada perhubungan udara.
Dengan adanya permintaan bantuan SAR dari daerah-daerah kepada tim pekerja penyusun SAR lokal Jakarta serta telah diadakannya beberapa operasi SAR secara konkrit oleh tim tersebut, maka organisasi SAR lokal jakarta tersebut boleh dikatakan merupakan langkah pertama kearah pengisian Badan SAR Nasional.
Sejak tahun 1968 SAR di Indonesia adalah merupakan salah satu dari proyek-proyek yang tercakup dalam South East Asia Coordinating Committe on Transport and Communication. Dimana SAR menjadi “Umbrella Project” untuk negara-negara Asia Tenggara. Sehubungan dengan hal itulah maka telah datang suatu Team Expert yang dikirim oleh Amerika Serikat untuk mengadakan survey di Indonesia yang bertujuan untuk:
  1. Mengumpulkan dan mempelajari data-data serta informasi dari semua fasilitas yang dapat untuk keperluan SAR.
  2. Membantu penyempurnaan atau peningkatan SAR di Indonesia dalam segala aspek.
  3. Meningkatkan koordinasi SAR dengan negara-negara tetangga.
Peralatan SAR di Indonesia telah mendapatkan perhatian dari beberapa negara, sehingga negara-negara tersebut bermaksud untuk menjadi pemrakarsa atau ingin membantu pembentukan SAR di Indonesia atau di negara-negara asia tenggara.
Dengan berkembangnya teknologi maju dan karena luasnya wilayah di Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan lautan yang sangat luas serta meningkatnya penggunaan pesawat terbang dan kapal laut, maka banyak negara di luar Indonesia mengharapkan adanya jaminan keselamatan bagi penerbangan dan pelayaran di Indonesia. Sebagai anggota ICAO dan IMCO diharapkan organisasi SAR di Indonesia benar-benar berfungsi secara sempurna.
Sebagai negara maritim, Indonesia berkewajiban untuk dapat menyelenggarakan kegiatan pencarian dan pertolongan kepada siapapun yang terkena musibah di wilayahnya dan bahkan jika mungkin di daerah tertentu di lautan bebas atau yang meliputi daerah yang belum diketahui. Untuk itulah maka sewajarnya Indonesia sebagai anggota ICAO harus membentuk organisasi SAR Nasional atau jika tidak maka harus bergabung dengan organisasi SAR yang dibentuk negara lain.
Sebagaimana telah diuraikan di atas tentang Team Expert yang dikirim Amerika Serikat, mereka itu adalah “Search And Rescue Study Team” dari United State Coast Guard yang mengadakan survey dari tanggal 5 Juni sampai dengan 8 Juli 1969. Team tersebut telah membuat “Preliminary Recomendations” yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
  1. Perlu adanya “agreement” antara departemen-departemen yang memiliki fasilitas dan peralatan SAR.
  2. Harus ada hubungan yang cepat dan tepat antara pusat-pusat koordinasi dengan “Primary and Secondary SAR Facilites”, dalam jaringan hubungan ini teleprinter circuit.
  3. Controllers” yang berpengalaman supaya diberi pendidikan formil pada salah satu “SAR School” dan di antara mereka supaya ada yang menjadi instruktur.
  4. Radio Navigation Aids” yang penting supaya dilayani secara terus-menerus, sedangkan bagi yang kurang penting supaya diperjanjang jadwal dan jam kerjanya.
Dalam pelaksanaan survey, SAR Study Team tersebut didampingi oleh Counter Part dari Indonesia yang terdiri dari Pejabat Tim Indonesia berpendapat bahwa dalam bidang:
  1. Organisasi instansi-instansi militer dan sipil yang memiliki potensi SAR sudah mempunyai satuan/unsur yang mampu untuk membantu kegiatan SAR.
Yang diperlukan adalah terhimpunnya satuan-satuan tersebut dalam suatu wadah/organisasi dengan satu sistem SAR yang baik.
  1. Komunikasi utuk keperluan masing-masing instansi tersebut telah memiliki jaringan komunikasi yang cukup baik, kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan SAR. Dalam hal ini diperlukan adanay pengaturan terhadap semua jaringan yang ada untuk jaringan khusus SAR dan prosedur pengaturannya.
  2. Personalia untuk penangan masalah-masalah SAR yang dimiliki oleh semua instansi yang berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki pengetahuan SAR secara khusus dan belum terlatih untuk kegiatan SAR.
  3. Peralatan yang dimiliki oleh instansi-instansi berpotensi SAR belum semuanya mempunyai sifat khusus untuk keperluan operasi SAR dan tidak ada keseragaman/standanya, walalupun seluruhnya bisa digunakan dalam keadaan yang darurat.
Setelah sekian lama Indonesia menjajaki permasalahan SAR tersebut dan mengingat bahwa keadaan geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang memiliki wilayah perairan yang luas serta menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera sehingga mengakibatkan padatnya jalur transportasi, maka dirasakan sekali perunya segera membentuk SAR Nasional untuk menjamin kestabilan negara baik dari segi ekonomis maupun keamanannya terutama dalam kaitannya dengan dunia SAR Internasional.
Indonesia telah sekian lama mematuhi hukum-hukum dan peraturan-peraturan internasional di bidan SAR seperti SOLAS dan ICAO, maka berdasarkan segala pertimbangan sebagaiman telah diruaikan di atas, pada tahun 1972 mulai terbentuk suatu organisasi SAR Nasional dengan nama Badan Search And Rescue Indonesia disingkat BASARI yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1972 yang diketuai oleh Menteri Perhubungan.
Tinjauan Historis dari Segi Organisasi
Seperti kita ketahui bersama bahwa BASARI baru dibentuk dalam tahun 1972, tepatnya tanggal 28 Februari 1972 yang berarti dalam pertengahan Pelita-I. Baru pada tanggal 20 Juni 1972 ditunjuk seorang Kepala Pusat Koordinasi SAR (PUSARNAS) sebagai pelaksana operasi SAR.
Pada kenyataannya pembentukan BASARI pada saat itu sampai dengan bulan Agustus 1975 baru berupa surat keputusan saja, pengisian dari ketentuan-ketentua dalam surat keputusan masih harus disusun. Pengisian yang dimaksud meliputi PUSARNAS sebagai Badan Pelaksana Operasional SAR sampai ke Eselon Pelaksana di Daerah yaitu Pusat Koordinasi Rescue (PKR) dan Sub Koordinasi Rescue (SKR). Juga pengadaan personil untuk mengisi jabata-jabatan pokok dan penyelsaian tugas-tugas adminsitratif yang semuanya itu harus dilaksanakan bersamaan dengan tugas-tugas operasional SAR.
Betapa pelan jalannya proses penanganan organisasi SAR Nasional ini, baru pada tanggal 16 Agustus 1975 Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara menyetujui naskahnya. Dan pada tanggal 2 desember 1975 organisasi SAR Nasional dengan nama Pusat SAR Nasional dibakukan keberadaannya didalam keputusan Menteri Perhubungan No. KN.415/Phb-75.
Pelita I telah lewat dan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun bagi perkembangan SAR Nasional pada saat itu. Bahkan untuk mendukung kegiatan rutinpun baru pertengahan tahun 1974 menerima DIK dan untuk memulai meningkatkan kemampuan SAR Nasional di bidang fasilitas dan peralatan kantor. Pembenahan gedung atau kantor paling tidak dapat memenuhi persyaratan minimal dan pelebaran sayap operasional SAR ke wilayahan atau daerah yang dimulai membangun gedung atau kantor KKR. PUSARNAS baru mendapatkan DIP mulai tahun anggaran 1975-1976 atau Pelita II tahun kedua.
Organisasi SAR di Indonesia sampai dengan Pelita II tahun kedua masih sangat terbelakang ditinjau dari kemampuan SAR di dunia pada umumnya. Sementara itu penerbangan, pelayaran, dan teknologi maju baik yang berkaitan dengan penerbangan, pelayaran, maupun bidang SAR berkembang terus dengan cepat. Agar tidak tertinggal lebih jauh, maka kemampuan SAR Nasional harus selekasnya digalang, dipelihara, dan ditingkatkan sampai minimal mencapai kemampuan yang sesuai dengan “recommended practices and international standard”.
Penggalangan kemampuan SAR meliputi 3 aspek, yaitu:
  1. Sebelum operasiSAR.
  2. Selama operasi SAR.
  3. Setelah operasi SAR.
Disamping pembagian dalam tiga aspek tersebut, perlu ditanamkan doktrin SAR kepada mereka yang akan memberikan atau menyediakan jasa SAR maupun kepada mereka yang memerlukan jasa SAR melalui penerangan-penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan.
Berhasilnya operasi SAR antara lain juga tergantung kepada kecakapan korban untuk tetap bisa hidup (The Ability To Survival).
Berdasarkan pada tiga aspek SAR tersebut, maka perlu didirikan sekolah SAR dan Survival Nasional. Crew pesawat dan personil lainnya (para Rescue, para medis, scuba diver, volounteer) yang akan ditugaskan dalam operasi SAR harus paham dan mahir dalam SAR dan Survival untuk bisa mencari dan menolong serta menyelamatkan.
Kemahiran sangat perlu agar operasi SAR bisa berdaya guna dan berhasil guna tanpa membahayakan keselamatan si korban maupun si penyelamat itu sendiri.
Pengetahuan teori dan keterampilan dalam praktek harus secara kontunyu dipelihara dan secara periodik di tes. Bagi crew dan para petugas  lapangan sangat perlu diberi SAR dan SURVIVAL Training secara kontinyu dengan menggunakan kesempatan yang ada.
Tolak ukur keberhasilan pengalaman lemempuan SAR pada dasarnya terletek pada berfungsinya 5 komponen SAR secara mantap dalam suatu sistem. Kelima komponen tersebut adalah:
  1. Organisasi
  2. Fasilitas
  3. Komunikasi
  4. Penanggulangn gawat darurat
  5. Dokumentasi
Dengan organisasi yang efisien dan dengan peralatan yang sesuai, maka SAR nasional tidak hanya menjamin peningkatan ekonomi saja, tetapi juga membuktikan kesungguhan dan kemampuan Indonesia untuk menempati “ International obligation “, yaitu tidak hanya mampu menolong jiwa manusia tetapi juga mampu menyelamatkan harta dan barang yang dikhawatirkan hilang sebagai akibat musibah dalam penerbangan atau pelayaran.
Semenjak SAR nasional menerima/mengelola anggaran sendiri baik melalui DIK maupun DIP telah menempuh kebijaksanaan organisasi sebagai berikut:
  1. organisasi harus disesuaikan dengan ketentuan pemerintah atas dasar peranan dan tugas yang diberikan kepada SAR nasional. Disamping kecakapan teknis dan operasional, perlu ditanamkan juga pengertian management. Untuk menjamin efisiensi kerja dan mencegah pemborosan uang, material, dan waktu yang biasanya selalu dirasakan kurang, sedangkan dari organisasi dituntut output yang tinggi.
  2. Dalam bidang operasional terutama KKR dan SKR didaerah susunan organisasinya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ICAO atau pusat-pusat koordinasi yang sudah lajim dan mengingat bahwa SAR Nasional Indonesia meliputi aeronautical dan maritme SAR. Masalah organisasi KKR dan SKR ini sangat penting mengingat hampir semua musibah yang memerlukan penanganan SAR terjadinya di daerah.
  3. Untuk seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu nasional SAR manual yang berlaku. Materinya akan disusun dan kemudian perlu disetujui oleh semua departemen, yang unsur-unsur SAR nya dikoordinir dalam SAR nasional. Dengan demikian akan diperoleh satu kesatuan bahasa dan satu kesatuan tindak.
Untuk mengisi jabatan-jabatan dialam organisasi SAR Nasional yang waktu itu berstatus sebagai PUSARNAS, PKR dan SKR telah mendapat persetujuan dengan pihak  HANKAM untuk menggunakan personil Angkatan dan Polri secara penugas karyaan dan perbantuan serta sebagian diambil dari sub sektor perhubungan.
Namun hingga sekarang yang dapat di realisasikan baru jabatan-jabatan di organisasi pusat saja., sedangkan pejabat di KKR dan SKR masih merupakan pinjaman dari sub sektor perhubungan udara dan laut sebagai tugas rangkap.
Masalah inilah yang masih digarap terus sejak berakhirnya pelita kedua hingga sekarang yang belum juga dapat diatasi.
Penyebab utamanya ialah bahwa untuk jabatan-jabatan di KKR dan SKR tersebut, baik yang berstatus eselon tiga maupun empat diperlukan kwalifikasi tertentu. Pengadaan secara werping untuk menduduki jabatan tersebut tidak mungkin, sedangkan dengan sistem alih tugas antar sub sektoral dilingkungan Departemen Perhubungan sulit ditempuh diakibatkan dengan kwalifikasi dan fasilitas yang harus ditempuh.
Kerja sama regional antar negara-negara ASEAN dibidang SAR hingga sekarang meliputi:
  1. agremeent for fasilitation of search and Aircraft in Distress and Rescue of Survivors of Aircraft Accidents.
  2. Meeting of Expert for the establishment of ASEAN Combined Operation Againts Natural Disasters.
Namun semua negara ASEAN belum meratifikasi perjanjian tersebut. Pelaksanaan teknis dari perjanjian tersebut belum diadakan perinciannya yang diterangkan ke dalam perjanjian-perjanjian tersendiri. Walaupun dalam suatu operasi SAR yang menyangkut wilayah lebih dari satu negara, negara-negara yang bersangkutan akan memberi pertolongan. Tetapi perlu diadakan perjanjian tentang berbagai prosedur dan luasnya ruang lingkup kerja sama tersebut. Berhubung inter state procedures ini belum ada, maka perlu diadakan pembicaraan-pembicaraan dan kunjungan-kunjungan timbal balik antar negara anggota ASEAN.
Secara fungsional operasi SAR pada dasarnya tidak mencakup kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dengan bencana alam. Akan tetapi SAR menyediakan fasilitas dan unit-unitnya untuk membantu operasi-operasi dalam memberikan bantuan pada korban bencana alam. Untuk masalah ini telah diadakan pembicaraan, penjajagan dengan Sekretaris Nasional ASEAN mengenai prosedur permintaan bantuan dari negara tetangga, karena bencana adalah urusan nasional dari negara yang bersangkutan. Untuk penanganan musibah-musibah bencana alam di Indonesia, SAR Nasional telah dilibatkan kedalam Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam ( Bakornas PBA ) sebagai anggota atas penunjukan Menteri Perhubungan sesuai dengan keputusan Presiden nomor 28 tahun 1979.
Khusus masalah SAR antara Indonesia dan Malaysia telah ada kerja sama di bidang latihan SAR yang disebut Latsar Malindo. Namun kegiatan tersebut tidak berkaitan dengan kerja sama regional di bidang SAR antar negara-negara ASEAN tetapi kaitannya pada General Border Comittee ( kerja sama dibidang perbatasan ) yang pada staf Planning Comittee-nya salah satu kelompoknya menyangkut masalah SAR perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Pada kelompok inilah SAR Nasional dilibatkan langsung atas penunjukan Menteri Hankam/Pangab selaku ketua General Border Comittee.
Sejarah SAR Nasional
Lahirnya organisasi SAR di Indonesia yang saat ini bernama BASARNAS diawali dengan adanya penyebutan “Black Area” bagi suatu negara yang tidak memiliki organisasi SAR.
Dengan berbekal kemerdekaan, maka tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota organisasi penerbangan internasional ICAO (International Civil Aviation Organization). Sejak saat itu Indonesia diharapkan mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran yang terjadi di Indonesia.
Sebagai konsekwensi logis atas masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO tersebut, maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1955 tentang Penetapan Dewan Penerbangan untuk membentuk panitia SAR. Panitia teknis mempunyai tugas pokok untuk membentuk Badan Gabungan SAR, menentukan pusat-pusat regional serta anggaran pembiayaan dan materil.
Sebagai negara yang merdeka, tahun 1959 Indonesia menjadi anggota International Maritime Organization (IMO). Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota ICAO dan IMO tersebut, tugas dan tanggung jawab SAR semakin mendapat perhatian. Sebagai negara yang besar dan dengan semangat gotong royong yang tinggi, bangsa Indonesia ingin mewujudkan harapan dunia international yaitu mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut diatas, maka timbul pemikiran bahwa perlu diadakan suatu organisasi SAR Nasional yang mengkoordinir segala kegiatan-kegiatan SAR dibawah satu komando. Untuk mengantisipasi tugas-tugas SAR tersebut, maka pada tahun 1968 ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor T.20/I/2-4 mengenai ditetapkannya Tim SAR Lokal Jakarta yang pembentukannya diserahkan kepada Direktorat Perhubungan Udara. Tim inilah yang akhirnya menjadi embrio dari organisasi SAR Nasional di Indonesia yang dibentuk kemudian.
Pada tahun 1968 juga, terdapat proyek South East Asia Coordinating Committee on Transport and Communications, yang mana Indonesia merupakan proyek payung (Umbrella Project) untuk negara-negara Asia Tenggara. Proyek tersebut ditangani oleh US Coast Guard (Badan SAR Amerika), guna mendapatkan data yang diperlukan untuk rencana pengembangan dan penyempurnaan organisasi SAR di Indonesia.
Kesimpulan dari tim tersebut adalah :
1. Perlu kesepakatan antara departemen-departemen yang memiliki fasilitas dan peralatan;
2. Harus ada hubungan yang cepat dan tepat antara pusat-pusat koordinasi dengan pusat fasilitas SAR;
3. Pengawasan lalu lintas penerbangan dan pelayaran perlu diberi tambahan pendidikan SAR;
4. Bantuan radio navigasi yang penting diharapkan untuk pelayaran secara terus menerus.
Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi pejabat – pejabat sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat kesimpulan bahwa :
1. Instansi pemerintah baik sipil maupun militer sudah mempunyai unsur yang dapat membantu kegiatan SAR, namun diperlukan suatu wadah untuk menghimpun unsur-unsur tersebut dalam suatu sistem SAR yang baik. Instansi-instansi berpotensi tersebut juga sudah mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang memadai untuk kegiatan SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan tersebut.
2. Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki kemampuan dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan dan latihan.
Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk keperluan SAR, walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun diperlukan standardisasi peralatan.
Hasil survey akhirnya dituangkan pada “Preliminary Recommendation” yang berisi saran-saran yang perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan suatu organisasi SAR di Indonesia.
PERKEMBANGAN ORGANISASI BASARNAS
Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR Indonesia (BASARI). Adapun susunan organisasi BASARI terdiri dari :
1. Unsur Pimpinan
2. Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
3. Pusat-pusat Koordinasi Rescue (PKR)
4. Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
5. Unsur-unsur SAR
Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai pelaksana operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan personil dan peralatan yang terbatas, kegiatan penanganan musibah penerbangan dan pelayaran telah dilaksanakan dengan hasil yang cukup memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM tahun 1974 di Bali dan operasi pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal dengan operasi Tinombala.
Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm) Marsma S. Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas resmi menjadi anggota NASAR (National Association of SAR) yang bermarkas di Amerika, sehingga Pusarnas secara resmi telah terlibat dalam kegiatan SAR secara internasional. Tahun berikutnya Pusarnas turut serta dalam kelompok kerja yang melakukan penelitian tentang penggunaan satelit untuk kepentingan kemanusiaan (Working Group On Satelitte Aided SAR) dari International Aeronautical Federation.
Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama dengan negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.
Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978 Menteri Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor 5/K.104/Pb-78 tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari pada kegiatan operasi SAR di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR di daerah dikeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan IM 4/KP/Phb-78 untuk membentuk Satuan Tugas SAR di KKR (Kantor Koordinasi Rescue).
Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula berada dibawah Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi Departemen Perhubungan dan namanya diubah menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).
Dengan diubahnya Pusarnas menjadi Basarnas, Kepala Pusarnas yang semula esselon II menjadi Kepala Basarnas esselon I. Demikian juga struktur organisasinya disempurnakan dan Kabasarnas membawahi 3 pejabat esselon II. Dalam perkembangannya keluar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 80 tahun 1998 tentang Organisasi Tata Kerja Basarnas, yang salah satu isinya mengenai pejabat esselon II di Basarnas, yaitu :
1. Sekretaris Badan;
2. Kepala Pusat Bina Operasi;
3. Kepala Pusat Bina Potensi;
Adanya organisasi SAR akan memberikan rasa aman dalam penerbangan dan pelayaran. Sejalan dengan perkembangan moda transportasi serta kemajuan IPTEK di bidang transportasi, maka mobilitas manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dalam lingkup nasional maupun internasional mempunyai resiko yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menimpa pengguna jasa transportasi darat, laut dan udara. Penerbangan dan pelayaran internasional yang melintasi wilayah Indonesia membutuhkan jaminan tersedianya penyelenggaraan SAR apabila mengalami musibah di wilayah Indonesia. Tanpa adanya hal itu maka Indonesia akan dikategorikan sebagai “black area” untuk penerbangan dan pelayaran. Status “black area” dapat berpengaruh negatif dalam hubungan ekonomi dan politik Indonesia secara internasional. Terkait dengan maslah tersebut, Badan SAR Nasional sebagai instansi resmi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang SAR ikut mempunyai andil yang besar dalam menjaga citra Indonesia sebagai daerah yang aman untuk penerbangan dan pelayaran. Dengan citra yang baik tersebut diharapkan arus transportasi akan dapat bejalan dengan lancar dan pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian nasional Indonesia.
Dengan meningkatnya tuntutan masyarakat mengenai pelayanan jasa SAR dan adanya perubahan situasi dan kondisi Indonesia serta untuk terus mengikuti perkembangan IPTEK, maka organisasi SAR di Indonesia terus mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu. Organisasi SAR di Indonesia saat ini diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 43 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 79 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor SAR. Dalam rangka terus meningkatkan pelayanan SAR kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2006 tentang Pencarian dan Pertolongan yang mengatur bahwa Pelaksanaan SAR (yang meliputi usaha dan kegiatan mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah pelayaran, dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya) dikoordinasikan oleh Basarnas yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Menindak lanjuti Peraturan Pemerintah tsb, Basarnas saat ini sedang berusaha mengembangkan organisasinya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagai upaya menyelenggarakan pelaksanaan SAR yang efektif, efisien, cepat, handal, dan aman.
Berdasarkan kajian dan analisa kelembagaan, sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tugas yang lebih besar, pada Tahun 2007 dilakukan perubahan Kelembagaan dan Organisasi BASARNAS menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yang diatur secara resmi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2007 tentang Badan SAR Nasional. Sebagai LPND, BASARNAS berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada Perkembangannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2009, sebutan LPND berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), sehingga BASARNAS pun berubah menjadi BASARNAS (LPNK).
Sebagai LPNK, BASARNAS secara bertahap melepaskan diri dari struktur Kementerian Perhubungan. Namun hingga Tahun 2009, pembinaan administratif dan teknis pelaporan masih melalui Kementerian Perhubungan. Selanjutnya per Tahun 2007 BASARNAS (LPNK) akan langsung bertanggung jawab ke Presiden melalui Sekretariat Negara (Setneg).

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking